Untuk menjadi seorang pemimpin dibutuhkan jiwa yang besar, bijaksana, tegas, adil serta bisa mensejahterakan rakyatnya. Demi menjadi seorang pemimpin haruslah memiliki riwayat pendidikan setinggi-tingginya? Apa Iya ? Siapa bilang, beberapa pejabat tinggi Indonesia telah membuktikan bahwa mimpi dan tekad yang kuat justru membawa mereka menjadi pemimpin di negeri zamrud khatulistiwa ini. Berikut tiga tokoh Indonesia tanpa gelar sarjana:
Soeharto |
1. Soeharto adalah anak dari pasangan Sukirah dan Kertosudiro, yang lahir
pada 8 Juni 1921 di Kecamatan Sedayu, Bantul, Yogyakarta. Soeharto
adalah anak ketiga Kertosudiro dengan Sukirah yang dinikahinya setelah
lama menduda. Sebelumnya, Kertosudiro menikah dengan istri pertama dan
dikarunia dua anak. Meskipun demikian, tidak lama setelah Soeharto
lahir, kedua orang tuanya bercerai. Kemudian, Sukirah menikah lagi
dengan Pramono dan dikaruniai tujuh anak. Belum genap 40 tahun,
Soeharto harus diasuh oleh Mbah Kromo karena ibunya sakit dan tidak bisa
menyusui. Ketika memasuki usia delapan tahun, Soeharto tinggal bersama
Mbah Atmosudiro, ayah dari ibunya. Soeharto masuk ke Sekolah Dasar (SD)
di Desa Puluhan, Godean. Tetapi, ia pindah ke SD Pedes (Yogyakarta)
lantaran ibu dan ayah tirinya pindah ke Kemusuk Kidul, Yogyakarta.
Setelah tamat SD, kemudian Soeharto melanjutkan pendidikanya ke jenjang yang lebih tinggi ke Sekolah Menengah Pertama (SMP) Muhammadiyah di Yogyakarta. Ia banyak belajar menghitung serta mendapatkan pelajaran Agama di sekolah tersebut.
Tamat dari SMP, Soeharto sebenarnya
ingin melanjutkan ke jenjang yang lebih tinggi. Apa daya, keluarganya
tidak mampu membiayai karena keterbatasan ekonomi. Di usia remaja,
Soeharto mencari pekerjaan, dan dia baru diterima menjadi anggota
Koninklijk Nederlands Indisce Leger (KNIL). KNIL merupakan tentara
kerajaan Belanda. Dan disinilah karies militernya dimulai.
Terakhir di dunia militer, Soeharto menjabat sebagai Mayor Jenderal (Mayjen) dan dilantik sebagai Menteri Panglima Angkatan Darat yang bertugas untuk merebut Papua dari Belanda serta membubarkan G-30-S/PKI dan singkat cerita, karena situasi politik Indonesia saat itu kacau setelah meletusnya G-30-S/PKI, Sidang Istimewa MPRS pada Maret 1967, Jenderal Soeharto ditunjuk sebagai Presiden berdasarkan Tap MPRS XXXIII/1967 pada Februari 1967, Soeharto kemudian menerima penyerahan kekuasaan pemerintahan dari Presiden pertama Indonesia, Ir. Soekarno.
Presiden
Soeharto hampir 32 tahun menjabat sebagai Presiden Indonesia melalui
enam kali pemilu, dan pada akhirnya ia mengundurkan diri pada 21 Mei
1998. Selama menjabat sebagai Presiden, telah banyak yang ia lakukan
untuk Indonesia. Bahkan, Soeharto dijuluki sebagai Bapak Pembangunan
Nasional. Selain itu, ia juga mendapatkan penghargaan dari
Organisasi Pangan dan Pertanian dunia (FAO) karena berhasil swasembada
pangan pada tahun 1985.
Soeharto wafat pada hari Minggu, 27 Januari 2008 sekitar pukul 13.10 WIB. Ia meninggal pada usia 87 tahun setelah dirawat selama 24 hari di Rumah Sakit Pusat Pertamina (RSPP), Jakarta. Ia banyak berkontribusi bagi negara Indonesia, meskipun ia sering dihujat karena masalah HAM dan kebebasan Pers.
Soeharto wafat pada hari Minggu, 27 Januari 2008 sekitar pukul 13.10 WIB. Ia meninggal pada usia 87 tahun setelah dirawat selama 24 hari di Rumah Sakit Pusat Pertamina (RSPP), Jakarta. Ia banyak berkontribusi bagi negara Indonesia, meskipun ia sering dihujat karena masalah HAM dan kebebasan Pers.
Adam Malik |
Adam Malik mulai menimba ilmu di Sekolah Dasar di Hollandsc-Inlandsche School Pematangsiantar, sekolah tersebut adalah sekolah dari Belanda. Setelah tamat, ia melanjutkan pendidikannya di Sekolah Agama Madrasah Sumatera Thawalib Parabek di Bukittinggi. Meskipun demikian, Adam Malik keluar dari sekolah tersebut, dia hanya menuntut ilmu di sekolah tersebut sekitar satu setengah tahun saja. Kemudian, dia kembali pulang kampung dan membantu orang tuanya berdagang.
Karier Adam Malik dimulai
saat ia merantau ke Jakarta. Saat itu ia menjadi seorang wartawan
sekaligus dia juga berpatisipasi dalam pendirian Kantor Berita Antara di
Jl. Pinangsia II, Jakarta Utara, sebelum pindah ke Pasar Baru, Jakarta
Pusat.
Adam Malik telah banyak berkontribusi dalam pergerakan
nasional memperjuangkan kemerdekaan Indonesia. Di zaman penjajahan
Jepang, Adam Malik juga aktif bergerilya. Dia juga pernah membawa
Soekarno dan Moh. Hatta ke Rengasdengklok, Karawang untuk segera
memproklamasikan kemerdekaan Indonesia. Saat itu, Adam Malik bersama
Sukarni, Chaerul Shaleh, dan Wikana.
Karier Adam Malik di dunia
internasional terbentuk ketika diangkat menjadi Duta Besar luar biasa
dan berkuasa untuk di negara Uni Soviet dan Polandia. Pada tahun 1962,
ia menjadi Ketua Delegasi Republik Indonesia untuk perundingan Indonesia
dengan Belanda mengenai wilayah Irian Barat di Washington D.C. Amerika
Serikat.
Selain itu, Adam Malik juga pernah terpilih sebagai
Ketua Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) ke-26. Perlu
diketahui, satu-satunya orang Indonesia yang pernah menjabat jabatan
tersebut yakni baru Adam Malik.
Selain itu, di pemerintahan
Indonesia, Adam Malik pernah menjabat diantaranya sebagai Menteri Luar
Negeri, dan menjadi Wakil Presiden Indonesia yang ketiga.
Selain itu, ada yang menarik dari Adam Malik. Sebagi seorang diplomat, wartawan dan birokrat, ia memiliki jargon yakni "Semua bisa diatur". Ia memang dikenal selalu mempunyai '1001' jawaban atas segala macam pertanyaan dan permasalahan yang dihadapkan kepadanya. Dia juga dijuluki sebagai si kancil, ia memang memiliki postur tubuh yang tidak terlalu besar.
Setelah
mengabdikan diri demi bangsa dan negara Indonesia. Adam Malik yang
usianya tidak muda lagi terserang kanker lever. Dan pada akhirnya, ia
meninggal pada 5 September 1984 di Bandung. Atas jasa-jasanya tersebut,
ia juga pernah dianugerai berbagai penghargaan, diantaranya adalah
Bintang Mahaputera kl. IV tahun 1971, Bintang Adhi Perdana kl. II tahun
1973, dan yang terakhir pada tahun 1998, dia diangkat sebagai Pahlawan
Nasional oleh Presiden Soeharto.
Susi Pudjiastuti |
Sebelum menjadi seorang
menteri, Susi Pudjiastuti adalah seorang CEO sekaligus pemilik maskapai
penerbangan, Susi Air. Namun, apakah Anda tahu bahwa Susi Pudjiastuti
seorang menteri sekaligus pemilik maskapai penerbangan itu tidak tamat
hingga sekolah menengah atas (SMA). Ya, wanita kelahiran 15 Januari 1965
itu memang tidak lulus hingga SMA. Bukan karena masalah biaya,
melainkan Susi dikeluarkan saat kelas 2 SMA akibat keaktifannya dalam
gerakan golput.
Beliau mulai memulai usahanya dengan menjual
perhiasannya dan mengumpulkan modal Rp 750.000 untuk menjadi pengepul
ikan di Pangandaran pada tahun 1983. Usahanya itu semakin berkembang,
sehingga ia berhasil mendirikan pabrik pada tahun 1996.
Anak dari
pasangan H. Karlan dan Hj. Suwuh itu memutuskan membeli sebuah Cessna
Caravan seharga Rp 20 miliar. Awalnya, pesawat itu hanya digunakan untuk
mengangkut ikan dan lobster yang akan dipasarkan ke Jakarta dan Jepang.
Call sign yang digunakan Cessna itu adalah Susi Air.
Seiring berjalannya waktu, saat bisnis perikanannya mulai merosot, ia mulai mengubah arah bisnisnya ke bisnis penerbangan. Susi Air semakin berkembang. Perusahaannya memiliki 32 pesawat Cessna Grand Caravan, 9 pesawat Pilatur Poster, 1 pesawat Diamond star dan 1 buah pesawat Diamond Twin Star.
Dari kisah tersebut, kita seharusnya bisa
mengambil pelajaran, bagaimana seseorang tanpa gelar sarjana dapat
meraih sukses serta dapat berkontribusi untuk negara Indonesia ini. Jika
tanpa gelar sajarna saja bisa sukses, tidak mustahil bagi kita yang
memiliki pendidikan tinggi untuk dapat berkontribusi dan memajukan
negara ini.
Mengutip quote dari Ippho Santosa, "Mungkin ilmu di
sekolah penting, tetapi ilmu di luar sekolah jauh lebih penting." Dengan
demikian, sudah seharusnya kita harus berbuat banyak untuk memajukan
negara tercinta kita, Indonesia.
No comments:
Post a Comment